Jumat, 20 Januari 2012

Sarung Samarinda Tenunan

Para perajin ini rata-rata berdiam di Kelurahan Masjid, Samarinda Seberang. Jika anda bertanya, maka warga akan menunjukkan pemukiman padat penduduk. Di rumah yang rata-rata terbuat dari kayu itulah kain sarung tenun Samarinda diolah dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM).

Meski tak berlimpah harta, tetapi warisan budaya berupa sarung tenun Samarinda terbukti mampu menghidupi ratusan pengrajin di Samarinda Seberang. Budaya turun temurun yang masih dapat disaksikan hingga kini.
Tak sulit menemukan kompleks pengrajin sarung tenun Samarinda ini. Lokasinya berjarak sekitar 8 kilometer dari pusat kota. Setelah melintasi Jembatan Mahakam, cukup menyusuri jalan di bibir Sungai Mahakam, yakni Jalan Bung Tomo dan Jalan Panglima Bendahara.
sarung samarindaJika malu bertanya, maka susuri saja Jalan Panglima Bendahara. Beberapa kios milik kelompok pengrajin tenun Samarinda dengan mudah dapat dijumpai. Misalnya kios pengrajin sarung tenun Samarinda Berdikari yang telah ada sejak tahun 1964.
Tak jauh dari kios itulah para penenun tinggal dan menyelesaikan pembuatan sarung tenun Samarinda dari rumah mereka masing-masing. Melirik ke dalam kios, umumnya, motif sarung tenun Samarinda yang diproduksi memiliki kesamaan ciri. Masing-masing kelompok memiliki keahlian dalam membuat motif yang berbeda.
Jika pecinta sarung tenun Samarinda menginginkan motif berbeda, maka bisa langsung mendatangi para penenun dan memberikan motif yang diinginkan. Harga setiap sarung tenun yang diproduksi tergantung berapa banyak motif yang diperlukan. Semakin banyak dan besar motifnya, maka semakin mahal harganya.
Setiap penenun dapat membuat satu sarung tenun Samarinda dalam waktu seminggu dengan ukuran panjang 4 meter dan lebar sekitar 50 sentimeter. Itupun untuk motif sederhana dan kecil. Semakin banyak dan besar motif yang diinginkan, maka semakin lama pembuatannya.
“Rata-rata, paling lama buatnya (sarung tenun, Red.) 15 hari. Pemesan harus antre sebulan karena menginginkan sarung tenun dengan motif yang diinginkan,” ucap Wahidah (30), penenun di Gang Muharram, No 34, RT 25, Jalan Panglima Bendahara, Samarinda Seberang.
Meski pembuatan dilakukan di rumah warga, tetapi kompleks yang dapat dikatakan cukup kumuh itu oleh Pemkot Samarinda dijadikan obyek wisata. Sayangnya, tidak ada sentuhan menarik yang dilakukan Pemkot untuk mengenalkan kompleks itu. Penjelasan dan keterangan yang diperoleh hanya dari mulut ke mulut.
Wahidah mendapatkan keahlian itu dari ibunya, Jawariah (50) yang juga berprofesi sebagai penenun. Bahkan di rumahnya, masih ada satu lagi penenun yang tak lain adalah saudara ibu kandungnya, yakni Aminah (45).
Mereka bertiga dalam sebulan dapat membuat 7 hingga 10 sarung tenun Samarinda yang dijual dengan harga berkisar antara Rp 150 ribu hingga Rp 450 ribu per buah. Keluarga ini mengandalkan sarung tenun ini untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Senada diucapkan Rohana, penenun yang terletak di kompleks yang sama. Ia membuat sarung tenun Samarinda karena meneruskan usaha orangtuanya. Beberapa motif yang dapat dibuatnya, seperti anyam pelupuh dan ketam hitam.
Kini warga pendatang dari Sulawesi yang menjadi penenun sarung tenun Samarinda ini sudah sekitar 30 tahunan berada di kompleks tersebut. Bahkan keahlian itu sudah diwariskan ke anak-anak mereka yang kini meneruskan pekerjaan yang kini dianggap sebagai warisan budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar